Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kepulauan Riau (Kepri), Wahyu Wahyudin dan Taba Iskandar, kompak menolak rencana relokasi 16 Kampung Tua di Rempang, Kecamatan Galang, Kota Batam.
“Kami sepakat di Dapil 6 menolak relokasi. Investasi kami dukung, tetapi buat apa kalau ujungnya malah menzalimi. Karena 16 Kampung Tua, mereka (warga) harus meninggalkan tempat itu dan belum jelas mau ke mana,” kata Wahyu di Batam, Selasa (12/09).
Ketua Komisi II itu mengaku prihatin atas kondisi masyarakat Rempang saat ini yang teracam terelokasi dari tanah kelahirannya.
Ia menilai, rencana BP Batam untuk memindahkan ribuan penduduk tempatan itu ke rumah susun (Rusun) bukan merupakan solusi.
Begitu juga dengan rencana BP Batam untuk membangunkan rumah dengan sejumlah embel-embel lainnya seperti tanah.
“Kalau katanya ada rusun dan rumah, itu bukan solusi. Kalau kita jadi mereka, tentu mereka tidak akan mau,” tuturnya.
Menurut Wahyu, BP Batam seharusnya mempersiapkan rencana pembangunan itu dengan baik dan jauh-jauh hari. Tidak seperti saat ini yang telah terlambat dan menimbulkan gejolak di tengah masyarkat.
Di tempat sama, Taba Iskandar menyampaikan hal serupa. Ia menjelaskan, masyarakat di Kampung Tua itu adalah penduduk asli tempatan yang telah tinggal turun temurun.
Maka mereka seharusnya tidak tergusur dari tanah kelahirannya. Berbeda dengan orang-orang pendatang yang memiliki lahan di luar Kampung Tua dengan membeli.
“Sebelum ada BP Batam, kampung itu sudah ada. Maka konsep relokasi itu tidak tepat. Tidak sama dengan pembebasan ruli (rumah liar),” ucapnya.
Menurutnya, wajar-wajar saja jika ada penolakan dari warga karena ingin mempertahankan haknya sebagai masyarakat adat sekitar.
Meskipun di sisi lain, Pemkot dan BP Batam juga merasa menjalankan haknya. Maka sama-sama ingin mendapatkan haknya.
“Tapi ingat jangan dengan mengatasnamakan hukum, orang yang membela haknya ini disebut melanggar hukum. Harus lihat sejarahnya,” kata Taba.
“Ini yang menurut saya belum diselesaikan maka muncul riak ini. Jangan dibenturkan aparat penegak hukum dengan warga,” tambah anggota Fraksi Golkar itu.
Oleh sebab itu, ia meminta BP Batam terus membangun ruang-ruang dialog untuk mencari jalan terbaik bersama warga tanpa relokasi.
Taba menyebut, pemerintah seharusnya hadir sebagai pelindung masyarakat. Bukan malah sebaliknya. Terlebih dengan adanya investasi yang dapat menjadi tombak kemakmuran warga.
Ia pun meminta agar BP Batam mengintegrasikan 16 Kampung Tua itu pada konsep pembangunan yang ada.
“Kalau pariwisata, buat rumahnya yang bagus supaya orang senang. Buat kampung nelayan yang bagus,” ungkapnya.
Sementara itu pengelola kawasan juga memperkerjakan putra/putri sekitar bila memiliki kompetensi yang sesuai.
Selain itu, pengelola kawasan juga bisa menggunakan lahan warga. Namun, dengan catatan memberikan sebagian saham pengelola sesuai tanah yang digunakan.
“Misalnya saya penduduk asli sana, dihitung (lahan) silakan tapi sebagai saham saya di PT MEG. Sehingga hak saya sampai anak cucu terjamin,” lanjut Taba.
Dengan demikian maka tidak akan ada gejolak seperti saat ini. (Sumber)