Indonesia dinyatakan resmi memegang keketuaan atau Presidensi G20 2022 di tengah situasi dunia yang sedang dikepung pandemi. Saat itu November 2020, tahun pertama pandemi global melanda dipicu COVID-19, Indonesia yang semestinya jadi tuan rumah G20 2023 bertukar posisi dengan India.
Kesepakatan pertukaran posisi Presidensi G20 antara Indonesia dengan India, pertama kali diungkapkan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. “Sebenarnya Indonesia akan menjadi tuan rumah pertemuan KTT G20 pada 2023. Namun mengingat pada 2023 kami akan memegang pimpinan ASEAN, Indonesia sudah berdiskusi menukar G20 dengan India,” kata Menlu dalam pernyataan pers, Minggu (22/11/2020).
Dengan situasi dunia, termasuk negara-negara anggota G20 yang masih didera pandemi COVID-19, tak heran jika topik tersebut mendominasi agenda pembahasan G20 2022. Bahasan tersebut menguat, baik di jalur finansial atau finance track, maupun di jalur sherpa track.
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dody Budi Waluyo, menjelaskan dalam keadaan perekonomian dunia yang masih dalam terdampak COVID-19, seluruh negara perlu bergerak bersama mencapai pemulihan dunia.
“Hal ini antara lain dilakukan melalui koordinasi kebijakan ekonomi dan keuangan. Kerja sama dan koordinasi yang erat diharapkan tidak hanya akan mampu mendukung dunia untuk keluar dari krisis secara merata, tetapi juga akan menghasilkan pemulihan yang lebih berkualitas dalam jangka panjang,”
-Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur Bank Indonesia-
Dalam agenda finace track misalnya, termuat agenda kebijakan soal strategi untuk keluar (exit strategy) dari dampak pandemi COVID-19, seraya langkah-langkah dukungan pemulihan ekonomi. Agenda finance track salah satunya juga memuat soal ‘Ensure health as a global common’.
Sedangkan pada sisi sherpa track, isu soal produksi vaksin COVID-19 yang dikuasai negara-negara tertentu, serta keterbatasan distribusi dan akses untuk mendapatkannya, menjadi salah satu perhatian utama. Tapi seiring situasi pandemi yang makin terkendali, fokus agenda G20 pun bergeser.
Dari Pandemi ke Isu Resesi akibat Gejolak Geopolitik
Memasuki 2022 harapan pemulihan ekonomi tumbuh menguat, seiring makin terkendalinya pandemi COVID-19. Tapi ibarat bunga yang baru akan merekah, kuntumnya layu dan gugur dihempas cuaca buruk. Cuaca buruk itu adalah serangan militer Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022, yang melebar jadi gejolak geopolitik global.
Sikap politik dunia terbelah antara yang pro-Ukraina dimotori Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat, dengan kubu Rusia dan negara-negara aliansinya. Konflik politik ini, meluas ke saling boikot dan embargo yang berdampak buruk ke perekonomian global. Hal ini menyebabkan jalur logistik dan rantai suplai perdagangan global terhambat.
Perlahan tapi pasti, harga komoditas pangan dan energi merangkak naik. Dunia dihadapkan pada krisis kebutuhan dasar manusia tersebut. Kenaikan harga akibat hambatan logistik dan jalur distribusi itu, memicu kenaikan inflasi yang menjadi penanda awal terjadinya resesi.
Hal itu seperti diungkapkan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dalam Konferensi Pers APBN KiTa, Senin (26/9). Dia menyebut tingginya inflasi kemudian akan memicu bank sentral di negara maju menaikkan suku bunga serta mengetatkan likuiditas.
“Kalau bank sentral di seluruh dunia meningkatkan suku bunga cukup ekstrem dan bersama-sama, dunia mengalami resesi di 2023. Kenaikan suku bunga bank sentral di negara maju cukup cepat dan ekstrem dan memukul pertumbuhan negara-negara tersebut,”
-Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI-
Salah satu yang agresif menaikkan suku bunga adalah bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, yang sudah menaikkan suku bunga acuan 75 basis poin selama tiga kali berturut-turut. Saat ini suku bunga acuan The Fed sudah mencapai 3,25 persen. Menkeu memproyeksi AS akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 bps dan Eropa sebesar 125 bps.
Terbukti! Pada kuartal II 2022 secara teknis AS sudah mengalami resesi, karena dua kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonominya negatif. Pada Kamis (28/7), Biro Riset Ekonomi Nasional AS, mengumumkan pertumbuhan ekonomi negara kembali minus 0,9 persen secara year on year (yoy). Di kuartal sebelumnya, yakni rentang Januari-Maret 2022 kontraksi ekonomi AS sudah terjadi lebih dalam yakni di posisi minus 1,6 persen secara yoy.
Jika sampai terbukti benar terjadi resesi di 2023, maka itu akan menekan pertumbuhan ekonomi global. Apalagi banyak negara di dunia, pada 2020 lalu mengalami resesi akibat ekonominya tertekan oleh dampak pandemi. Selain negara berkembang seperti Indonesia, suramnya perekonomian akibat pandemi juga dirasakan sejumlah negara maju.
Kondisi saat ini relatif lebih buruk, karena tekanan ekonomi terjadi seiring dengan masalah geopolitik yakni perang. Sejarah menunjukkan, perlambatan ekonomi yang diiringi terjadinya perang, bisa memicu depresi ekonomi.
Apalagi kini resesi tak hanya mengintai negara maju, namun juga membayangi negara-negara emerging market yang selama ini mencatatkan pertumbuhan ekonomi mengesankan. Hal itu seperti diungkapkan survei Bloomberg yang dirilis Juli 2022, menyangkut peningkatan risiko terjadinya resesi di sejumlah negara-negara emerging market di Asia.
Langkah Indonesia Mengantisipasi Resesi
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional, Wempi Saputra, mengatakan perubahan situasi global dari pandemi ke potensi resesi itu telah menggeser agenda utama G20. “Ada peningkatan risiko geopolitik yang mengakibatkan disrupsi rantai suplai, akibatnya mendongkrak inflasi yang ujung-ujungnya kompleksitas persoalan ini ke persoalan resesi,” ujarnya.
“Ini [akibat] lonjakan harga pangan, di benua Afrika itu 300 juta orang makan sehari cuma sekali,”
-Wempi Saputra, Staf Ahli Menteri Keuangan-
Menurutnya, negara-negara di dunia menaruh harapan pada Indonesia sebagai pemegang Presidensi G20, untuk bisa mendorong inisiatif meredakan ketegangan geopolitik. Apalagi Indonesia sebagai inisiator Gerakan Non-Blok, punya keleluasaan dalam mendorong diplomasi perdamaian.
Pada ujungnya hal ini diharapkan bisa menghindarkan dunia dari resesi global. Sementara itu meski probabilitas terjadinya inflasi di Indonesia relatif kecil, yakni hanya 3 persen, namun Presiden Joko Widodo (Jokowi) berulang kali meminta kewaspadaan pemerintah dan masyarakat. Apalagi dalam ekonomi global tidak ada negara yang berdiri sendiri, tanpa pengaruh dari negara lain.
“Saya sudah ulang-ulang terus ini. Sekarang ini kita tidak dalam posisi yang mudah, posisinya sulit semua. Krisis pangan, krisis energi, krisis keuangan, krisis finansial, terjadi di hampir semua negara,” tutur Jokowi saat meresmikan groundbreaking produsen pipa Wavin di Kawasan Industri Batang, Jawa Tengah, Senin (3/10).
Merespons harapan Presiden Jokowi yang juga menjadi keinginan negara-negara di dunia untuk mengantisipasi resesi, Indonesia mendorong negara-negara anggota G20 untuk bisa melahirkan sebuah kesepakatan bersama pada KTT G20 yang akan berlangsung di Bali pada pertengahan November mendatang.
“Kita harus terus melangkah ke depan. Kita perlu menghasilkan aksi konkret dengan menunjukkan semangat kerja sama, kolaborasi, dan konsensus. Secara historis, G20 telah mencatatkan kemampuan kita untuk melalui ini semua,” kata Sri Mulyani dalam Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (FMCBG) negara-negara G20, yang berlangsung di Washington DC, AS, Kamis (13/10).
Pertemuan itu juga diikuti Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo. Sedangkan delegasi negara lain yang hadir, yakni 66 pimpinan ikut serta secara fisik dan hanya 4 orang yang hadir secara virtual. Secara keseluruhan, pertemuan tersebut dihadiri 371 delegasi, di mana 304 orang hadir langsung dan 67 orang hadir secara virtual.
Sehubungan dengan meningkatnya risiko kerawanan pangan dan energi, G20 berkomitmen untuk mempertimbangkan semua alat yang diperlukan untuk mengatasi kerawanan pangan dan energi serta tekanan biaya hidup yang dialami di banyak negara.
Salah satu hasil konkret Presidensi G20 Indonesia, mengantisipasi kerawanan pangan, energi, serta krisis finansial, adalah pembentukan skema keuangan Financial Intermediary Fund (FIF). Dikelola Bank Dunia, FIF diarahkan untuk memastikan kecukupan dan keberlanjutan pembiayaan untuk pencegahan kerawanan pangan dan energi tersebut.
Total komitmen FIF dari donor penggagas di G20 adalah sebesar USD 1,4 miliar. Sementara anggota lainnya mendorong tambahan komitmen secara sukarela.(Sumber)