Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mendesak negara maju untuk memenuhi janji memberikan dana USD 100 miliar atau kurang lebih Rp 1.427 triliun kepada negara berkembang. Dana ribuan triliun tersebut guna mengatasi perubahan iklim di negara berkembang.
Hal ini disampaikan Menko Airlangga dalam sambutannya di acara Parliamentary Forum in the Context of the G20 Parliamentary Speaker’s Summit (P20) pada Rabu (5/10/2022).
“Dalam hal ini, saya ingin menggunakan kesempatan terhormat untuk mendesak negara-negara maju, untuk memenuhi janji mereka, untuk memberikan USD 100 miliar pembiayaan iklim kepada negara-negara berkembang,” kata Airlangga Hartarto.
Indonesia berkomitmen dalam menanggulangi perubahan iklim. Upaya ini tengah ditempuh Indonesia demi mencapai target penurunan emisi hingga hingga Net Zero Emission (netralitas karbon) yang ditargetkan akan tercapai di 2060.
Untuk mitigasi perubahan iklim, Pemerintah Indonesia akan terus mengurangi deforestasi, memulihkan speedline dan reboisasi. Pemerintah juga akan menerapkan sistem teknologi canggih dalam amonia biru, terutama di industri logam menengah dan juga memajukan rencana yang lebih ambisius untuk pembiayaan yang lebih hijau dari dalam negeri.
“Transisi energi adalah salah satu yang harus berkelanjutan dan kontributif bagi masyarakat. Indonesia selama G20 ini telah berupaya untuk transisi energi melalui teknologi seperti pemanfaatan penyimpanan co-firing, pembangkit listrik tenaga batubara dengan amonia biru serta model pembiayaan untuk menghadapi out of coal, dan pembangkit listrik,” ujarnya.
Krisis Multidimensi
Tak hanya dihadapkan pada target net zero emission, di sisi lain saat ini dunia sedang dilanda krisis multidimensi, dimana tantangan ekonomi semakin nyata dibalik percepatan pemulihan ekonomi dampak pandemi covid-19.
Menurutnya, di seluruh dunia saat ini tengah berjuang menghadapi berbagai krisis, salah satunya energi yang membuat bisnis turun, dan produktivitas usaha melambat. Ditambah, adanya lonjakan harga pangan yang menyebabkan kelangkaan pangan, padahal pangan sangat penting untuk menghidupi jutaan orang yang mengalami kelaparan.
“Tantangan itu hanya bisa kita atasi jika kita bersatu. Rasa kemanusiaan dan solidaritas yang kuat saat Kami Berkumpul di sini hari ini dunia melihat kami dengan harapan untuk membawa pejuang bagi rakyat,” pungkasnya.
The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa perubahan iklim telah berdampak pada ekosistem dan manusia di seluruh bagian benua dan samudera di dunia.
Perubahan iklim dapat menimbulkan risiko besar bagi kesehatan manusia, keamanan pangan global, dan pembangunan ekonomi. Sehingga tindakan untuk mengurangi emisi sangat penting dan mendesak untuk dilakukan guna menghindari bahaya perubahan iklim.
Hal tersebut diungkapkan Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Marves, Nani Hendiarti dalam Lokakarya bertema “Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ekosistem Pesisir” di Jakarta, Jumat (23/9/2022), kemarin.
“Berkaitan dengan dampak perubahan iklim di Indonesia, Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kerentanan yang sangat tinggi terhadap dampak perubahan iklim. Merujuk data (BPS, 2020) sekitar 42 juta orang tinggal pada daerah kurang dari 10 meter di atas permukaan laut,” ujarnya.
Padahal kajian proyeksi (USAID, 2016), sambungnya, menyebutkan kenaikan air laut akan menenggelamkan 2.000 pulau kecil pada tahun 2050 yang berarti terdapat 42 juta penduduk berisiko kehilangan tempat tinggalnya.
Selain itu, menurut literatur yang ada juga menyatakan sebanyak 75 persen kota besar Indonesia terletak di wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap perubahan iklim.
“Dampak yang paling terasa di wilayah pesisir seperti kenaikan muka air laut serta penggenangan akibat banjir di wilayah pesisir atau rob, berdampak langsung terhadap berkurangnya wilayah akibat tenggelam oleh air laut. Rusaknya kawasan ekosistem pesisir akibat gelombang pasang, juga menimbulkan dampak tidak langsung berupa hilangnya atau berubahnya mata pencaharian masyarakat,” ungkapnya.
Menurut Deputi Nani melihat fakta ini adaptasi sangat penting untuk dilakukan guna menghadapi risiko perubahan iklim. Sehingga masyarakat dapat beradaptasi dengan mempersiapkan menghadapi beberapa risiko perubahan iklim, tetapi hal ini saja tidak cukup.
“Karena itu kita perlu untuk secara signifikan mengendalikan sumber utama perubahan iklim, yaitu mengurangi emisi gas rumah kaca untuk membatasi dampak yang ditimbulkannya. Hal-hal ini sekarang yang sedang terus dikawal oleh Kemenko Marves melalui kebijakan-kebijakan yang dikoordinasikannya seperti antara lain penyelenggaran ekonomi karbon, energi transisi, green port, rehabilitasi mangrove, pendanaan aksi iklim dan lainnya,” lanjutnya.
Selain itu, Deputi Nani juga menjelaskan bahwa lokakarya ini diadakan dalam rangka Bulan Literasi Maritim yang diinisiasi Kemenko Marves dalam rangka Peringatan Hari Maritim Nasional ke-58, setiap 23 September. “Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Bangsa Indonesia telah memperingati Hari Maritim Nasional ke-58 tahun 2022,” imbuhnya.(Sumber)