Selama 32 tahun bersama Soeharto, Partai Golkar (Golongan Karya) memang menjadi partai yang menguasai politik Indonesia dari 1967 sampai 1998. Partai ini kerap menjadi pemenang pada setiap pemilu di pemerintahan mendiang Presiden Soeharto.
Golkar awalnya lahir dari gagasan “anti-partai” tetapi justru menjadi partai yang mewakili golongan penguasa dan mesin patronase, alih-alih mewakili golongan petani dan buruh sebagaimana yang diinginkan Sukarno pada 1967.
Dalam merengkuh kekuasan selama 32 tahun, Golkar setidaknya memiliki tiga strategi politik.
1. Melalui Jalur ABRI. Dengan menggunakan dwifungsi ABRI membuat Golkar mendapatkan keuntungan. Hal ini disebabkan banyak elite politik Golkar dan militer menjabat sebagai Aparat TNI-AD yang sama-sama mendukung kekuasaan Soeharto.
2. Birokrasi mengenai monoloyalitas PNS. PNS diwajibkan menyalurkan aspirasi politik ke Sekber Golkar yang kemudian dimanfaatkan Golkar untuk menghimpun suara saat pemungutan suara.
3. Golkar kerap meramu isu pembangunan yang juga seolah-olah dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat sekaligus mendukung program Soeharto yang kala itu juga dikenal sebagai “Bapak Pembangunan”.
Dari strategi tersebut, Golkar menjadi partai yang turut membangun Orde Baru bersama Soeharto. Hal ini membuat Golkar sempat diisukan untuk dibubarkan pasca reformasi. Bahkan pada 2001, mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gusdur mengeluarkan dekrit untuk membekukan partai yang didominasi warna kuning ini.
Desakan Golkar untuk bubar terdengar hingga 2003 oleh berbagai kalangan termasuk mahasiswa. Namun, anehnya Golkar justru meraih kembali masa keemasan menjadi pemenang Pemilu 2004 dengan 21,58 suara. Perolehan tersebut mengungguli PDI sebesar 18,53 persen dan PPP dengan 10,57 persen.T
Kemenangan tersebut tidak terlepas dari peran Ketua Umum Golkar kala itu, yakni Akbar Tandjung.
Menurut Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes mengatakan bahwa Akbar berhasil membawa Golkar memutus koneksi dengan Orde Baru dan menawarkan kebaruan. Hal ini membuat rakyat mulai percaya lagi kepada partai yang berlogo pohon beringin itu.
Meskipun sempat berjaya kembali setelah reformasi, perolehan kursi Golkar di parlemen terus menurun. Di Pemilu 2009, partai ini hanya mendapatkan 106 kursi. Jumlah tersebut semakin berkurang di Pemilu 2014 dengan 91 kursi dan Pemilu 2019 menjadi 85 kursi.
Diberitakan sebelumnya, menurut Arya Fernandes hal ini disebabkan Partai Golkar yang kerap didera konflik internal dan minim inovasi. “Basis politik Golkar masih berada pada pemilih masyarakat rural, di luar Jawa, dan berusia di atas 40 tahun,” ujarnya.(Sumber)