Anggota DPR Komisi VII Fraksi Golkar Dyah Roro Esti, menanggapi wacana penghapusan Pertalite dan diganti dengan Pertamax Green 92.
Menurut Dyah Roro, hal terpenting adalah kebutuhan masyarakat terpenuhi dengan baik.
“Sebagai wakil masyarakat tentu keluhan mereka bagian dari apa yang patut kemudian kita perjuangkan,” katanya ketika ditemui di Park Hyatt Hotel Jakarta, dikutip pada Jumat (8/9/2023).
“Oleh karena itu, ketika ada skema tadi (mengganti Pertalite), yang terpenting adalah jangan sampai kuota untuk subsidi, BBM bersubsidi, itu dikurangin,” lanjutnya.
Ia mengatakan, kebutuhan BBM subsidi di lapangan masih cukup tinggi. Dyah Roro menekankan, yang terpenting adalah suplainya mencukupi.
Ia kemudian juga turut menyampaikan permohonannya kepada pemangku kepentingan terkait seperti pemerintah dan Pertamina, agar memperbaiki data penerima subsidi BBM.
Selama ini, kata Dyah Roro, data yang digunakan berasal dari Kementerian Sosial.
Data tersebut terkadang, kata dia, tidak sama dengan lapangan. Di lapangan orangnya sudah mampu, tapi kemudian mendapatkan BBM bersubsidi.
“Sebaliknya juga yang tidak mampu, yang seharusnya membutuhkan dan mendapatkan, justru tidak mendapatkan,” ujar Dyah Roro.
“Skema subsidi ini kan diperuntukkan untuk barang dan tidak kepada orangnya langsung,” sambungnya.
Ia menyebut saat ini Komisi VII DPR sedang berusaha menawarkan kepada pemerintah mengenai bagaimana skema subsidi BBM secara keseluruhan bisa diubah.
Diberitakan sebelumnya, PT Pertamina (Persero) masih dalam tahap mengkaji untuk meningkatkan kadar oktan BBM Subsidi dengan Research Octane Number atau RON 90 menjadi RON 92.
Program tersebut merupakan hasil kajian internal Pertamina, belum ada keputusan apapun dari pemerintah.”
“Tentu ini akan kami usulkan dan akan kami bahas lebih lanjut,” kata Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina, seperti dikutip dari laman resmi Pertamina.
Dapat Restu ESDM
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mempersilakan Pertamina mengkaji penghapusan Pertalite untuk kemudian diganti menjadi Pertamax Green 92.
“Kalau Pertamina mau bahas, silakan. Tapi, kalau pemerintah belum (akan bahas). Jadi industri silakan dulu bahas,” kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji ketika ditemui di Hotel Park Hyatt Jakarta, Kamis (7/9/2023).
Ia mengatakan, sejatinya akan ada atau tidaknya Pertalite pada 2024 tidaklah sederhana karena tergantung dengan masalah polusi.
“Kalau ada atau tidak itu masalahnya tidak sederhana, tergantung masalah polusi. Ini harus ada pertimbangan ekonomi dan sosial dan itu tidak bisa dari Kementerian ESDM saja, harus ada kementerian lain,” ujarnya.
Kemudian, Tutuka turut menyinggung soal mandat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mengharuskan oktan BBM harus di bawah 91.
Ia mengatakan, sebenarnya itu bukan mandat dan keharusan RON rendah tidak jadi yang utama. Namun, lebih kepada penetapan standar emisi.
“Sebetulnya bukan mandat. RON-nya rendah (ada di posisi, red) kedua,” ujar Tutuka.
Ia kemudian mengatakan, antara akhir 2024 dan awal 2025, Pertamina bisa mencapai Euro 5.
“10 PPM itu bisa loh yang di Balikpapan,” kata Tutuka.
“Nah sekarang itu yang dibutuhkan baru 500 PPM kan, masih di bawahnya itu, tapi akhir 2024 dan awal 2025 itu bisa Euro 5,” sambungnya.
Tutuka mengatakan, hal itu bisa dibuktikan melalui Refinery Development Master Plan (RDMP) Balikpapan.
“Itu tunggu selesai RDMP Balikpapan. Itu kan mendukung. Pertamina sudah in line supaya tidak polusi seperti ini sekarang,” ujarnya.
Hal tersebut dilakukan dengan mencampur Pertalite dengan Ethanol 7 persen sehingga menjadi Pertamax Green 92.
(Sumber)