Politiknesia.com

Menko Airlangga Hadapi Krisis Ekonomi Global Dengan Stimulus Fiskal dan Kenaikan Suku Bunga Bertahap

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, kebijakan bank sentral di seluruh dunia menaikkan suku bunga secara agresif merupakan upaya menekan inflasi yang sudah terlalu tinggi.

Saat ini sejumlah negara menghadapi risiko ledakan inflasi akibat kenaikan harga komoditas pangan dan energi. “Inflasi sekarang menjadi musuh terbesar dunia,” jelas Ketua Umum Golkar itu.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan badai global tersebut disebabkan oleh krisis pangan dan energi yang dipicu oleh konflik Rusia-Ukraina.

 

Indonesia juga tidak terlepas dari pengaruh ketidakpastian global. Yang paling terlihat adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

“Pertama, harga komoditas pasti akan berfluktuasi. Saya kira Rusia-Ukraina akan berlanjut hingga 2023. Karena ramalan perang panjang. Tentu saja, harga komoditas dan beberapa komoditas utama seperti pangan, energi, minyak, gas tinggi. Jadi dampaknya bagi kita, Potensi inflasi dari BBM masih menghantui,” jelasnya.

Oleh karena itu, menurut Tauhid, pemerintah perlu memberikan stimulus fiskal agar melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat memberikan dukungan sosial (bansos).

“Apa yang harus dilakukan? Ya, pemerintah harus dengan stimulus fiskal. Bantalan subsidi pasti diperlukan,” tambahnya.

Sebelumnya, pemerintah telah menerbitkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 500/4825/SJ tentang Penggunaan Belanja Tidak Terduga Dalam Rangka Pengendalian Inflasi Daerah untuk menjaga keterjangkauan harga dan daya beli masyarakat.

Pemerintah mengeluarkan kebijakan belanja perlindungan sosial wajib sebesar 2 persen dari Dana Transfer Umum yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH).

 

Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.07/2022 tentang Belanja Wajib Dalam Rangka Penanganan Dampak Inflasi Tahun Anggaran 2022 yang ditetapkan pada 5 September 2022. Total alokasi dana mencapai Rp2,4 triliun. 17 triliun.

Selain kebijakan fiskal berupa social cushioning, pemerintah juga harus memperhatikan suku bunga acuan. Menurut Tauhid, upaya Bank Sentral AS menaikkan suku bunga untuk menekan inflasi hingga 8,5% juga berdampak pada Indonesia.

“Untuk mengatasi tingginya inflasi di Amerika sekitar 8,5%, The Fed akan menaikkan suku bunga hampir lebih dari 4%. Dampaknya akan terjadi capital outflow terbesar. Ini mengancam nilai tukar rupiah kita juga akan melemah,” ujarnya. dikatakan.

Menanggapi kebijakan The Fed dan kondisi global, Tauhid menyarankan agar pemerintah menerapkan kebijakan moneter secara bertahap dalam menaikkan suku bunga. Beberapa waktu lalu, Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) menjadi 4,25%.

“Mau tidak mau Indonesia harus menaikkan BI Rate, kemarin 4,25 persen. Tidak menutup kemungkinan akan naik lagi. 3-6 bulan,” katanya.

Tauhid mengatakan, kenaikan suku bunga acuan akan diikuti cost of fund di sektor riil juga akan terdongkrak. Ini akan mengganggu bisnis.

Mereka tidak dapat berkembang secara bebas ketika suku bunga terlalu tinggi. Oleh karena itu, Tauhid berpesan kepada pemerintah agar tidak menaikkan BI Rate secara tiba-tiba, tetapi merevisinya secara bertahap.

“Oleh karena itu, kenaikan suku bunga harus bertahap. Agar pelaku usaha bisa menyesuaikan. Itu harus dilakukan. Dampaknya juga pada suku bunga sektor riil.

Mau tidak mau, pemerintah harus bisa berkomunikasi dengan perbankan. sehingga relatif tidak terlalu cepat menaikkan suku bunga, sehingga riil bisa menyesuaikan,” pungkasnya.

Stok Pangan dan Bantuan Sosial

Sementara itu, ekonom senior Center Of Reform on Economics (CORE) Pieter Abdullah mengatakan, upaya pemerintah memberikan bantalan sosial merupakan upaya yang baik, namun pemerintah harus tetap menjamin ketersediaan pangan.

“Tugas pemerintah adalah memastikan ketersediaan pangan cukup. Cukup itu yang terpenting, jadi kalaupun ada kenaikan (inflasi) tidak akan terlalu tinggi dan besar. Apalagi disertai dengan berbagai bantuan sosial,” kata Pieter hari ini 30 September 2022.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah mengeluarkan kebijakan belanja perlindungan sosial wajib sebesar 2 persn dari dana belanja perlindungan sosial wajib 2,71 triliun, yang digunakan antara lain untuk, pemberian bantuan sosial, antara lain untuk ojek, usaha mikro, kecil dan menengah, dan nelayan.

“Inflasi adalah hal yang paling penting untuk menjaga inflasi itu sendiri, sedangkan bantuan dimaksudkan untuk mengurangi beban. Fokusnya mencegah inflasi naik tapi tidak liar,” kata Pieter. Menurut dia, jika pemerintah bisa menjaga inflasi di bawah 6% dalam kondisi saat ini, itu sangat bagus

Pemerintah pusat dan daerah diminta untuk terus menjaga ketersediaan pangan terutama komoditas yang masih berada dalam rantai pasok dalam negeri.

“Kita bisa kendalikan rantai pasok dalam negeri. Jadi di situlah perhatiannya, agar pemerintah aktif memantau suplai di dalam negeri. Jangan sampai rantai pasok mengganggu itu,” kata Pieter.

Sementara itu, komoditas yang berada dalam rantai pasok global saat ini mengalami gangguan akibat konflik geopolitik Rusia-Ukraina serta krisis energi. (Sumber)

Leave a Reply