Rezim komunis China diam-diam memberlakukan lockdown ketat karena kembali merebaknya Covid di wilayah mayoritas Muslim Uyghur Turkistan Timur (Xinjiang). Akibatnya, jutaan warga (terutama etnis Uyghur) berada di pinggir jurang kelaparan.
Warga dikurung di rumah mereka, seringkali tanpa suplai makanan dan obat-obatan, sejak awal Agustus 2022 lalu. Demikian banyak kesaksian yang dibagikan secara online, yang dengan cepat dihapus oleh sensor pemerintah.
Sebagaimana telah diketahui, rezim komunis China dituduh telah melakukan genosida di Xinjiang karena menahan lebih dari satu juta etnis Muslim Uyghur di kamp-kamp konsentrasi. Itulah sebabnya pada awal bulan September 2022 ini, PBB mengatakan bahwa China mungkin melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan di kawasan itu.
Sakit dan Kelaparan
Anggota diaspora Uyghur mengatakan kepada The Telegraph bahwa mereka menghadapi pembredelan informasi tentang kebijakan lockdown yang kejam saat ini. Para aktivis terus berjuang di tengah ancaman sensor oleh China, guna mengumpulkan rekaman yang diambil di dalam wilayah tersebut dan memberitahu kepada dunia tentang penderitaan orang-orang Xinjiang.
“Warga Uyghur mulai memprotes lagi hari ini di Ghulja. Dimulai di pagi hari dari kota Qaradong, orang-orang berjalan ke pusat kota. Menurut sebuah video, mereka pergi ke jalan karena tidak ada makanan dan obat-obatan yang mestinya disediakan oleh pihak berwenang,” kata
Di media sosial tersiar video yang menunjukkan pemuda kekurangan gizi dan lemari es kosong. Juga ada postingan yang beredar luas, seorang warga di Ili, wilayah berpenduduk 4,5 juta orang di Xinjiang utara, mengatakan anaknya yang berusia 17 bulan meninggal akibat ditolak perawatan medisnya karena lockdown.
Dalam video lain yang diposting dan kemudian disensor di Douyin, TikTok versi China, seorang pria mengaku tidak punya apa-apa lagi untuk memberi makan ketiga anaknya yang masih kecil, yang sedang duduk mengelilingi meja. Ada lagi video tentang seorang gadis remaja yang memberitahu ibunya bahwa perutnya sakit karena kelaparan. Ada pula kelompok-kelompok kecil Uyghur yang tampak berkonfrontasi dengan pejabat setempat karena kurangnya pasokan makanan.
Sejauh ini kebenaran video belum dapat diverifikasi secara independen. Namun tayangan itu mengingatkan pada lockdown di tempat lain di China.
Misalnya pada awal tahun 2022, wilayah Shanghai di-lockdown selama dua bulan. Penduduk mengeluh kelaparan karena suplai makanan yang tidak jelas, baik dari lembaga kemanusiaan maupun pemerintah setempat. Adapun pemerintah pusat menerapkan kebijakan zero-Covid yang amat ketat. Terkadang warga dibiarkan tanpa makanan, perawatan medis, dan bahkan akses ke tempat berlindung jika ada bencana alam.
Sedangkan di Xinjiang, rumah bagi sekitar 12 juta orang Uyghur dan sebagian besar etnis minoritas Muslim lainnya, kebijakan lockdown diperparah dengan kekhawatiran tentang penindasan dan genosida.
“Di Ili Xinjiang (pusat kamp konsentrasi China), sekarang juga memiliki kamp konsentrasi karantina Covid. Hampir tidak ada orang lain yang tersisa di jalanan,” tulis Northrop Gundam, seorang aktivis, di akun Twitter @GundamNorthrop, 10 September 2022.
“Selama lockdown, (pihak berwenang) mengunci seluruh keluarga di rumah mereka … dan bahkan menutup pintu,” Zumret Dawut, seorang aktivis Uyghur dan penyintas kamp konsentrasi yang saat ini tinggal di Amerika Serikat, mengatakan kepada The Telegraph.
“Tidak ada kesiapsiagaan darurat, bahkan jika ada kebakaran atau gempa bumi, atau banjir seperti yang baru-baru ini terjadi di Kashgar. Tidak ada bantuan untuk warga yang dikurung. Situasi ini telah berlanjut selama lebih dari 50 hari. Orang-orang dengan penyakit kronis dan populasi rentan seperti orang tua, bayi, dan anak-anak paling menderita,” tambah Dawut.
Dari rumahnya di negara bagian Virginia, Dawut terus memantau video yang diposting oleh orang-orang di Xinjiang di Douyin, kemudian memposting ulang ke Facebook dan Twitter, sebelum disensor aparat China.
Sementara otoritas Ili belum mengakui adanya lockdown resmi. Wakil gubernur prefektur Ili, Liu Qinghua, meminta maaf atas kegagalan dalam akses ke layanan medis. Dia mengakui banyaknya kekurangan dan kelemahan pekerjaan otoritas lokal.
“Komite Partai Komunis dan pemerintah ingin menyampaikan permintaan maaf terdalam mereka atas gangguan kehidupan yang dialami oleh semua etnis,” kata Liu.
Para pejabat tidak secara langsung menangani keluhan kelaparan. Mereka hanya berjanji untuk memastikan pasokan makanan yang cukup dan mengatur petugas untuk mengirim makanan ke keluarga yang terkunci.
Sensor Media Sosial
Polisi di Yining, sebuah kabupaten di Prefektur Ili, pada hari Ahad lalu menangkap empat pengguna internet karena menyebarkan “desas- desus” tentang lockdown Covid.
Pihak berwenang juga memerintahkan sensor dan membanjiri media sosial dengan postingan positif tentang situasi di Xinjiang, termasuk soal makanan dan pariwisata. Hal ini bertujuan untuk meredam gejolak lockdown. Demikian arahan dari pemerintah yang bocor ke media dan diterbitkan oleh China Digital Times.
Sebenarnya angka Covid di Xinjiang relatif kecil, hanya 28 infeksi baru yang dilaporkan pada hari Senin. Sedangkan di seluruh negeri, pihak berwenang melaporkan total 1.094 infeksi menular lokal baru. Namun para pejabat China tidak mau menanggung risiko terjadinya wabah besar baru, terutama menjelang kongres politik besar Partai Komunis pada pertengahan Oktober nanti.
Di tempat lain, ada pejabat di kota selatan Guiyang yang dihukum karena dianggap gagal menahan penyebaran virus ke distrik-distrik tertentu. Di internet, penduduk Guiyang juga mengeluhkan kekurangan makanan akibat adanya lockdown.
Belum ada rilis remi tentang kematian akibat Covid-19 dalam beberapa pekan terakhir di China. Namun Radio Free Asia mengutip pejabat Xinjiang yang tidak disebutkan namanya, yang mengatakan bahwa selusin penduduk Ili meninggal karena kelaparan atau kurangnya akses ke obat-obatan.
“Seluruh diaspora Uyghur terguncang oleh kebijakan ekstrim zero- covid di Ghulja,” kata Gulruy Asqar, seorang aktivis Uyghur di pengasingan, menyebut nama kota yang banyak dihuni etnis Uyghur di Yining.
“Kami sangat, sangat khawatir, dengan anggota keluarga kami. Mereka mungkin juga kelaparan.”* (Sumber: The Telegraph, 13 September 2022).*(Sumber)