Pangeran Charles mengatakan, negara-negara Persemakmuran yang ingin menjadi republik keputusan tersebut berada di tangan mereka.
Ia memastikan, pemutusan hubungan dengan monarki Inggris dapat dilakukan dengan tenang dan tanpa dendam.
Dalam pidato yang ia sampaikan pada Pertemuan Kepala Pemerintahan Persemakmuran di Rwanda, Charles berbicara tentang gerakan republik yang mulai berkembang di beberapa negara anggota.
“Persemakmuran berisi di dalamnya negara-negara yang memiliki hubungan konstitusional dengan keluarga saya, beberapa yang terus melakukannya, dan semakin banyak yang tidak memilikinya,” papar Charles, dikutip dari Sydney Morning Herald.
“Saya ingin mengatakan dengan jelas, seperti yang telah saya katakan sebelumnya, bahwa pengaturan Konstitusi setiap anggota, sebagai republik atau monarki, adalah murni masalah yang harus diputuskan oleh masing-masing negara anggota. Pengaturan seperti ini dapat berubah, dengan tenang dan tanpa dendam,” sambungnya.
Kini mulai banyak negara-negara Persemakmuran yang meninggalkan sistem monarki.
Beberapa dari mereka pun mulai mendesak upaya reparasi terkait ketidakadilan era kolonial yang mereka alami seperti perbudakan.
Tahun lalu, Barbados beralih dari monarki konstitusional parlementer ke republik parlementer. Kini, kepala negara Barbados bukan lagi Ratu Elizabeth II melainkan Presiden.
Langkah Barbados kemungkinan besar akan diikuti negara-negara lain. Salah satu paling santer adalah Jamaika.
Negara semisal Australia, juga telah menunjuk seorang menteri republik, yang menandakan perubahan konstitusional dalam waktu dekat.
Charles memastikan, keputusan suatu negara memilih kepala negaranya sendiri tidak ada kaitannya dengan keanggotaan mereka dalam kelompok Persemakmuran.
“Keluarga Persemakmuran kami adalah, dan akan selalu tetap, menjadi sebuah asosiasi bebas dari negara-negara yang mandiri dan memiliki pemerintahan sendiri,” ujar Charles.
“Kami bertemu dan berbicara secara setara, berbagi pengetahuan dan pengalaman kami untuk kemajuan semua warga Persemakmuran – dan, memang, dunia yang lebih luas,” sambungnya.
Charles dalam pidatonya juga menyinggung masa lalu Inggris yang kental dengan tindak perbudakkan. Ia mengatakan, kini diperlukan cara-cara baru untuk mengakui kesalahan perbudakan di masa lalu.
“Saya ingin mengakui bahwa akar dari hubungan kita bermula jauh dalam periode paling menyakitkan dalam sejarah kita. Saya tidak dapat menggambarkan betapa dalamnya kesedihan pribadi saya atas penderitaan begitu banyak orang, saya terus memperdalam pemahaman saya sendiri tentang dampak abadi perbudakan,” jelas Charles.
“Kita juga harus menemukan cara baru untuk mengakui masa lalu kita. Sederhananya, ini adalah percakapan yang waktunya telah tiba, ” tegasnya.(Sumber)