Menjelang tahun politik Pemilu 2024 polarisasi begitu tajam menyeruak ke permukaan. Polarisasi politik ini cenderung sensitif karena melibatkan perdebatan-perdebatan SARA. Banyak masyarakat sudah jengah dengan polarisasi politik ini, selain bising, polarisasi politik juga riskan memunculkan permusuhan gaya baru.
Politisi Partai Golkar, Tantowi Yahya merupakan salah satu masyarakat yang merasakan kejengahan atas akrobat polarisasi politik ini. Baginya penggunaan isu-isu sensitif yang menyinggung SARA dengan tujuan memunculkan polarisasi politik sungguh tidak bermartabat. Sebab, akibatnya polarisasi politik ini tidak menguntungkan siapapun.
“Saya sebagai politisi sekaligus sebagai rakyat sudah penat dengan keterbelahan ini. Polarisasi ini tidak menguntungkan siapapun dan menghambat proses kemajuan,” sebut Tantowi Yahya kepada redaksi Golkarpedia.com (27/09/2022).
Jika polarisasi dilanjutkan bahkan dijadikan instrumen politik di Pemilu 2024, Tantowi Yahya menyebut keadaan akan semakin suram. Utamanya bagi presiden terpilih dari hasil proses demokrasi di Pemilu 2024.
“Siapapun yang akan menjadi presiden kita berikutnya tidak akan bisa bekerja maksimal ketika masyarakatnya masih terbelah, seperti, mohon maaf saya katakan sekarang ini,” tambah mantan Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru ini.
Tantowi Yahya pun menggambarkan bahwa keadaan pasca Pemilu 2024 akan menjadi sulit terutama bagi pemimpin terpilih. Perlu adanya formulasi khusus dan pemimpin yang bersifat menyejukkan untuk membuat nuansa politik di Indonesia kembali tenang seperti sedia kala. Utamanya bisa menahan semua pihak agar tidak menggunakan isu-isu SARA dalam perpolitikan bangsa.
“Jadi tugas berat pemimpin kita di 2024, lima tahun berikutnya adalah menyatukan kembali seluruh rakyat Indonesia seperti sedia kala. Karena hanya dengan persatuan lah maka program pembangunan bisa berjalan dengan lancar,” pungkas Tantowi Yahya mengakhiri pernyataan. {radaraktual}