Kontribusi sektor jasa keuangan dalam pemulihan ekonomi secara konkret tampak dalam capaian program restrukturisasi dan pelonggaran likuiditas guna membantu masyarakat serta pelaku usaha terdampak Covid-19.
Tercatat, penyaluran kredit perbankan nasional tumbuh pesat pada Mei 2022 mencapai 9,03% (yoy) atau 4,23% (ytd).
“Saya mengapresiasi kinerja pelaku industri di sektor keuangan, termasuk kinerja pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sehingga mampu menjaga stabilitas sektor keuangan sebagai katalis untuk menggerakkan roda perekonomian,” kata Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam acara Tatap Muka dengan Para Direktur Utama di Sektor Jasa Keuangan terkait Implementasi Market Conduct dalam Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Kamis (7/7).
Airlangga menekankan, capaian peningkatan sektor jasa keuangan perlu dibarengi dengan antisipasi berbagai tantangan, seperti rendahnya tingkat literasi keuangan masyarakat.
Sebab berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2019, indeks literasi keuangan Indonesia berada di posisi 38,03% dengan indeks inklusi keuangan sebesar 76,19%.
Hal ini menunjukkan masyarakat Indonesia secraa umum belum memiliki pemahaman yang baik mengenai karakteristik berbagai produk dan layanan jasa keuangan yang ditawarkan oleh lembaga jasa keuangan formal.
Di sisi lain, Airlangga mengapresiasi langkah OJK yang sudah meluncurkan SiMolek atau Si-Mobil Literasi Keuangan dalam mendorong sinergi antara pelaku usaha jasa keuangan dari sektor perbankan, pasar modal dan industri keuangan non-bank dalam memberikan literasi dan edukasi terkait sektor jasa keuangan kepada masyarakat.
SiMolek dapat dimanfaatkan seluruh stakeholder yang berkaitan dengan industri jasa keuangan dalam menyampaikan edukasi ke masyarakat.
“Pemerintah menyambut baik edukasi masyarakat tersebut, terutama untuk menyasar kalangan muda agar menabung sejak dini dan mengenali produk jasa keuangan yang bertanggung jawab,” ujar Menko Airlangga.
Selain literasi, sektor jasa keuangan juga menghadapi tantangan lain terkait penyelesaian kasus ”high-profile”, baik melalui instrumen investasi koperasi atau pun trading yang telah merugikan konsumen, mencoreng integritas sektor keuangan, serta menurunkan minat dan kepercayaan masyarakat terhadap berbagai produk jasa keuangan.(Sumber)